Senin, 20 September 2010

Pahami Bacaan Sholatmu, Semoga Mendapat Kekhusyu'an

Memahami bacaan shalat serta merenunginya merupakan salah satu jalan untuk meraih kekhusyu'an. Bahkan menjadi salah satu jalan utamanya. Rasanya sangat sulit sekali bagi orang yang jahil terhadap makna-makna yang dibacanya dari Al-Qur'an dan dzikir-dzikir dalam shalat untuk mendapatkan kekhusyu'an. Hal sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Shalih al-Munajid dalam 33 Sababab Lil Khusyu' Fish Shalah, pada urutan ke empat.
Dalam bagian ini, Syaikh Al-Munajid menganjurkan bagi orang yang melaksanakan shalat untuk memahami bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan dalam shalat. Lalu beliau menunjukkan cara untuk memahami Al-Qur'an, yaitu dengan memperhatikan tafsir Al-Qur'an sebagimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir rahimahullah,
"Sesungguhnya aku heran dengan orang-orang yang membaca Al-Qur'an, sedangkan ia tidak memahami takwil (tafsir)nya, mana mungkin dia dapat menikmati bacaannya." (Pendahuluan Tafsir al-Thabari, Mahmud Syakir: I/10)
Karenanya, sangat dianjurkan bagi orang yang membaca Al-Qur'an untuk membaca juga kitab-kitab tafsir, jika tidak sempat dianjurkan untuk membaca ringkasannya, kalau masih juga berat dianjurkan membaca kitab-kitab yang menerangkan kalimat-kalimat yang sulitnya. Dan bagi kita, orang Ajam yang tidak berbicara dengan bahasa Arab, dianjurkan untuk membaca tarjamahnya. Semua ini agar kita bisa memahami bacaan Al-Qur'an yang dilantunkan dalam shalat sehingga kita mampu merenunginya, lalu tumbuh kekhusyu'an dalam diri kita.
Ketika seseorang memahami arti dan maksud ayat yang dibacanya memungkinkan dia untuk mengulang-ulang ayat tersebut guna lebih meresapinya dan memperkuat perasaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdiri melaksanakan qiyamul lail semalaman hanya membaca satu ayat yang diulang-ulangnya hingga pagi, yaitu firman Allah,

 

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Yang maknanya kurang lebih, "Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Maidah: 118)
Seseorang yang memahami makna ayat yang dibaca, tentunya akan mungkin untuk berinteraksi langsung dengan ayat tersebut. Yaitu dengan bertasbih ketika melewati ayat tasbih, dan berdoa ketika melewati ayat yang mengandung permintaan, berta'awwudz (meminta perlindungan) ketika melewati ayat yang mengandung perlindungan, memohon surga ketika melewati ayat surga, dan berlindung dari neraka ketika melewati ayat yang membicarakan tentang neraka dan kengerian siksanya.
Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Hudzaifah radliyallah 'anhu, berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ . . . فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ

"Suatu malam aku shalat bermakmum kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau membaca Al-Qur'an dalam shalatnya dengan berlahan (tidak tergesa-gesa). Apabila beliau sampai pada ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Apabila sampai pada ayat yang mengandung permintaan, beliau meminta (berdoa). Dan apabila sampai pada ayat yang mengandung perlindungan, beliau berta'awwudz (memohon perlindungan)." (HR. Muslim, no. 772)

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ تَعَوَّذَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَنْزِيْهٌ لِلَّهِ سَبَّحَ

"Suatu malam aku shalat bermakmum kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka apabila sampai pada ayat rahmat, beliau meminta rahmat. Apabila sampai pada ayat adzab, beliau berlindung darinya. Dan apabila sampai pada ayat yang di dalamnya mengandung makna menyucikan Allah, beliau membaca tasbih." (HR. Imam al-Marwazi dalam Ta'dzim Qadris Shalah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 4782)
Sebagian ulama salaf juga membaca ayat dengan diulang-ulang karena terkesan dengan makna dan kandungannya. Hal ini tidak lain karena mereka memahami apa yang mereka baca. Qatadah bin al-Nu'man, seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, melakukan qiyamullailnya tanpa membaca surat apapun, kecuali surat Al-Ikhlash yang dibacanya berulang-ulang. (Atsar riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Baari 9/59 dan Ahmad dalam Musnadnya III/43)
Sa'id bin 'Ubaid al-Thaiy telah meriwayatkan sebuah atsar, ia pernah mendengar Sa'id bin Jubair mengimami pada bulan Ramadlan. Pada shalat tersebut, Sa'id hanya membaca ayat berikut ini secara berulang ulang,

فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ (70) إِذِ الْأَغْلَالُ فِي أَعْنَاقِهِمْ وَالسَّلَاسِلُ يُسْحَبُونَ (71) فِي الْحَمِيمِ ثُمَّ فِي النَّارِ يُسْجَرُونَ(72

" Kelak mereka akan mengetahui,ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api." (QS. Al-Mukmin: 70-72)
Al-Qasim telah meriwayatkan bahwa dia pernah melihat Sa'id bin Jubair melakukan qiyamullail dengan hanya membaca ayat,

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
"Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah: 281) dan beliau mengulang-ulang bacaan ayat ini sampai 20 kali lebih.
Seorang laki-laki dari Bani Qais yang dikenal dengan Abu Abdullah telah meriwayatkan, "Pada suatu malam kami menginap di rumah Al-Hasan (al-Bashri), maka di tengah malam ia bangun dan shalat. Dan ternyata yang dibacanya hanyalah ayat berikut secara berulang-ulang hingga waktu sahur, yaitu firman Allah,

وَآَتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

 
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Qs. Ibrahim: 34)
Pada pagi harinya kami bertanya, "Wahai Abu Sa'id, mengapa engkau tidak melampaui ayat ini dalam bacaan sepanjang malam?" Al Hasan menjawab, "Aku memandang ayat ini mengandung pelajaran yang mendalam. Karena tidaklah aku menengadahkan pandangan mataku dan tidak pula menundukkannya, melainkan pasti melihat nikmat. Sedangkan nikmat-nikmat Allah yang belum diketahui, masih sangat banyak." (Al-Tadzkirah, karya Imam al-Qurthubi, hal. 125)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid juga menjelaskan bahwa meragamkan bacaan surat, ayat, dzikir, dan do'a dalam shalat bisa membantu menghadirkan kekhusyu'an. Namun, kekhusyu'an ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang yang mengetahui maknanya dan memahami kandungannya, sehingga ketika ia membacanya seolah dia sendiri yang bermunajat dan meminta kepada Allah secara langsung.
Berikut ini kekhusyu'an Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalatnya sehingga tumbuh rasa takutnya kepada Allah sampai-sampai air mata beliau tertumpah membasahi bumi. Diriwayatkan dari 'Atha, dia dan 'Ubaid bin 'Umair pernah datang menemui 'Aisyah radliyallah 'anha. Kemudian 'Ubaid berkata, "Ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkan yang pernah Anda lihat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?"
'Aisyah menangis lalu becerita, "Pada suatu malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bangun, lalu berkata, "Hai 'Aisyah biarkan aku menyembah Tuhanku malam ini, sesungguhnya aku suka dekat denganmu dan aku menyukai apa yang engkau sukai."
'Aisyah melanjutkan kisahnya, "Sesudah itu beliau bangkit dan berwudlu', lalu berdiri untuk shalatnya. Beliau terus-menerus menangis dalam shalatnya sehingga pangkuannya basah, dan terus menangis hingga tanahnya basah. Setelah itu Bilal datang untuk memberitahukan akan masuknya waktu Shubuh. Tetapi, setelah Bilal melihat beliau menangis, maka ia bertanya, "Wahai Rasulullah, Anda menangis, padahal Allah sudah mengampuni semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

أَفَلاَ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا، لَقَدْ نَزَلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ آيَةٌ، وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَلَمْ يَتَفَكَّرْ فِيْهَا (إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ. . . . الآية كُلُّهَا

"Tidak bolehkan aku menjadi hamba yang banyak bersyukur? Sesungguhnya malam ini telah diturunkan kepadaku beberapa buah ayat. Celakalah bagi orang membacanya tapi tidak memikirkan makna yang terkandung di dalamnya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi . . . (QS. Al-Baqarah: 164) 
seluruhnya." (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Al-Albani dalam Al-Shahihah, no. 68, menyatakan sanad hadits ini jayyid –baik-)
Mengetahui dan memahami makna apa yang dibaca di dalam shalat menjadi sarana wajib untuk bisa merenungkan dan mentadabburi setiap gerakan dan dzikir-dzikir dalam shalat. Dari perenungan dan tadabbur yang mendalam ini akan memunculkan sentuhan jiwa sehingga matapun akan bisa menangis. Allah berfirman tentang Ibadurrahman,

وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا

"Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta." (Q.S Al-Furqan 73)
Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Shalah, pernah menyatakan: "Ada satu hal yang ajaib, yang dapat diperoleh oleh orang yang merenungi makna-makna Al-Qur'an. Yaitu keajaiban-keajaiban Asma dan Sifat Allah. Itu terjadi, tatkala orang tadi menuangkan segala curahan iman dalam hatinya, sehingga ia dapat memahami bahwa setiap Asma dan Sifat Allah itu memiliki tempat (bukan dibaca) di setiap gerakan shalat. Artinya bersesuaian. Tatkala ia tegak berdiri, ia dapat menyadari ke-Maha Terjagaan Allah, dan apabila ia bertakbir, ia ingat akan ke-Maha Agung-an Allah." Wallahu a'lam Bis shawab. . .
Oleh: Badrul Tamam

Minggu, 11 Juli 2010

Perbedaan Ahli Tauhid Dengan Musyrik (1)


Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya serta umatnya yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnahnya dan meniti jalan hidupnya hingga hari yang dijanjikan.
Allah telah menurunkan beberapa kitab, mengutus beberapa rasul, dan telah menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dia pula yang telah menciptakan kita dan menciptakan segala sesuatu supaya Dia saja yang diibadahi dan ditaati dan dikufuri segala yang disembah selain-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56) maknanya agar mereka mentauhidkan-Ku (Allah).
Perintah Allah yang teragung adalah tauhid, yaitu beribadah hanya kepada Allah semata, Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
Sebaliknya, larangan yang paling besar atas kita adalah syirik (mengangkat sekutu bagi Allah) dalam ibadah kepada-Nya. Dia berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (QS. An-Nisa': 36)
Mentauhidkan Allah dengan beribadah kepada-Nya semata, Dzat yang tidak memiliki sekutu. Tauhid ini juga menuntut untuk mentauhidkan-Nya dalam nama dan sifat-Nya. Yaitu dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah yang telah Dia tetapkan sendiri untuk diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa tahrif dan ta'thil, tanpa takyif, tamtsil dan, tasybih. Juga menuntut untuk berwala' (loyal) kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin dan bara' (berlepas diri) dari musuh-musuh Allah dan agama-Nya. Inilah perbedaan antara ahli tauhid dan ahli syirik.
Seseorang bisa menjadi muslim yang lurus dan bertauhid jika meninggalkan syirik dengan sengaja dan sadar, dan mentauhidkan-Nya dengan hanya melakukan ibadah hanya kepada-Nya.
Apa itu ibadah?
Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup apa saja yang dicintai dan diridlai Allah, berupa perkataan atau perbuatan yang dzahir maupun yang batin. Seperti shalat, zakat, shaum, haji, jihad, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, cinta dan loyal kepada kaum mukminin, berlepas diri dan benci terhadap orang kafir, doa, rasa takut, cinta, harapan, bertawakkal, khusyu', taubat, isti'anah, istighatsah, berkorban, bernadzar, dan bentuk ibadah lainnya. Tidak boleh ada tujuan hidup selain ridla Allah, mengharap pahala dari-Nya, dan usaha tersebut harus ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup apa saja yang dicintai dan diridlai Allah, berupa perkataan atau perbuatan yang dzahir maupun yang batin.
Berarti setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya adalah sesuatu yang dicintai dan diridlai Allah. Sebaliknya setiap yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya berarti tidak dicintai dan diridlai Allah.
Allah berfirman,
وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
"Dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu." (QS. Az-Zumar: 7)
Dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridlai tiga hal bagi kalian dan murka pada kalian jika melakukan tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan (Allah ridla) jika kalian berpegang pada tali Allah seluruhnya dan kalian saling menasehati terhadap para penguasa yang mengatur urusan kalian. Allah murka jika kalian sibuk dengan desa-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak berguna serta membuang-buang harta.”(HR. Muslim)
Berarti setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya adalah sesuatu yang dicintai dan diridlai Allah.
Sebaliknya setiap yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya berarti tidak dicintai dan diridlai Allah.
Ibnu Taimiyah berkata, "agama Islam dibangun di atas dua landasan utama, pertama, Hanya Allah saja yang diibadahi dan tidak disekutukan dengan apapun. Kedua, beribadah kepada Allah dengan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dua hal ini adalah hakikat ucapan kita, Asyhadu anlaa Ilaaha Illallaah wa Asyhadu Anna Muhammadan 'Abduhu wa Rasuuluh (Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya)."
Agama Islam dibangun di atas dua landasan utama, pertama, Hanya Allah saja yang diibadahi dan tidak disekutukan dengan apapun. Kedua, beribadah kepada Allah dengan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Al-Ilah adalah yang dipertuhankan oleh hati dengan ibadah, isti'anah, cinta, mengagungkan, takut, berharap, membesarkan dan memuliakan. Allah 'azza wa jalla memiliki hak yang tak seorangpun berserikat di dalamnya. Maka tidak boleh beribadah dan berdoa kecuali kepada Allah, dan tidak boleh ada yang ditakuti dan ditaati selain-Nya.
Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanyalah orang yang menyampaikan perintah, larangan, yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah. Berarti perkara halal adalah apa yang dihalalkannya dan perkara haram adalah yang diharamkannya sedangkan agama adalah apa yang diajarkannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya sebagai perantara antara Allah dan hamba-Nya dalam menyampaikan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, yang dihalalkan dan diharamkan-Nya, dan seluruh kalam Allah yang disampaikannya." (Majmu' Fatawa: 1/126)
Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanyalah orang yang menyampaikan perintah, larangan, yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah.
Tauhid berkisar pada satu ayat yang menjadi inti dari surat Al Fatihah, yaitu Iyyaaka Na'budu wa Iyyaaka Nasta'iin "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (QS. Al-Fatihah: 7) agama Allah, semuanya, terkait dengan ayat ini.
Iyyaka Na'budu, tujuan seseorang dalam berbuat adalah taat kepada Allah 'azza wa jalla dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
Iyyaka Nasta'in, agar tidak meminta apa yang ia butuhkan kecuali hanya kepada Allah dan tidak memohon bantuan untuk meraihnya kecuali kepada-Nya 'Azza wa Jalla.
Sedangkan syirik menjadikan selain Allah sebagai tujuan dalam berbuat dan mentaati perintah-perintah selain Allah yang bertentangan dengan perintah Allah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya sebagai perantara antara Allah dan hamba-Nya dalam menyampaikan perintah dan larangan-Nya, . . .
Tauhid ibadah harus dengan ilmu
Ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak mungkin teralisasi kecuali dengan ilmu dan ma'rifah. Allah tidak diibadahi kecuali dengan ilmu. Sedangkan syirik menjadi bukti adanya kejahilan terhadap Allah. Maka seorang musyrik tidak mengenal Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Allah berfirman, "artinya: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah." (QS. Muhammad: 19)
Dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Mu'ad bin Jabal ketika mengutusnya ke negeri Yaman; "Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka serulah mereka agar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam . . ."
Ibnu Hajar Al 'Asqalani berkata, "dalam riwayat Rauh bin Al Qashim dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma: yang pertama harus engkau dakwahkan pada mereka adalah agar mereka beribadah kepada Allah. Jika mereka mengenal Allah . . ."
Dalam riwayat al-Fadhl bin Al 'Ala, dari Ibnu Abbas, agar mereka mentauhidkan Allah. Jika mereka mengetahui hal itu . . ."
Kompromi dari dua riwayat ini, bahwa maksud ibadah kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya. Mentauhidkan-Nya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Keduanya menjadi dasar agama ini, maka tidak sah bentuk ibadah dalam Islam tanpa diawali dengan mengikrarkan dua kalimat ini. ( Fathul Baari: 3/418)
Keduanya (Kalimat Syahadat) menjadi dasar agama ini, maka tidak sah bentuk ibadah dalam Islam tanpa diawali dengan mengikrarkan dua kalimat ini.
Al-Qadli 'Iyadl menyatakan, berdasarkan hadits ini menunjukkan bahwa Ahlul Kitab tidak mengenal Allah Ta'ala. Beliau berkata, "tidak mengenal Allah orang yang mendustakan Rasul-Nya."
Ibnul Qayyim berkata, "tidak mungkin melaksanakan ibadah yang menjadi hak Allah atas seluruh hamba kecuali dengan ilmu. Dan tidak akan mendapat ilmu kecuali dengan mencarinya." (Miftah Daar As Sa'adah: 1/87)
Beliau berkata lagi, "Namun urusan ini seperti yang dikatakan Umar bin Al Khathab radliyallah 'anhu: 'sesungguhnya tali Islam lepas sedikit demi sedikit jika hadir di dalam Islam orang yang tidak memahami kejahiliyahan.' Hal ini karena ia tidak mengenal kajahiliyahan dan kesyirikan. Perkara yang dicela Al Qur'an terjadi dilakukannya, diakui, didakwahkan, dibenarkan, dan dianggap kebaikan. Dia tidak tahu bahwa hal itu termasuk kebiasaan jahiliyah atau yang setingkat dengannya, lebih buruk atau di bawahnya sedikit. Lalu ikatan Islam lepas dari hatinya, menganggap yang ma'ruf adalah mungkar, sementara yang mungkar adalah ma'ruf, bid'ah sebagai sunnah, dan sunnah sebagai bid'ah, mengkafirkan seseorang karena berpegang dengan iman dan tauhid, membid'ahkan orang yang konsisten berittiba' kepada Rasulullah dan menjauhi ahlul ahwa' wal bida'." (Madarijus Salikin: 1/ 351)
Ibnul Qayyim mengatakan, "dasar kesyirikan dan kekufuran adalah berkata tentang Allah tanpa ilmu. Orang musyrik mengklaim bahwa orang yang mengambil sesembahan selain Allah akan mendekatkan dirinya kepada Allah dan memberi syafaat di sisi-Nya, Allah akan mengabulkan permintaannya melalui perantara tadi sebagaimana adanya para perantara bagi raja. Setiap musyrik berkata tentang Allah tanpa ilmu, bukan sebaliknya." (Madarijus Salikin: 1/ 378)
Syaikh Abu Bashir Asy Syami berkata, "tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan ilmu adalah yang bisa menambah keimanan dan keyakinan bagi pemiliknya, lalu mendorongnya untuk berbuat dan bergerak guna meninggikan kalimat dien ini."
"tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan ilmu adalah yang bisa menambah keimanan dan keyakinan bagi pemiliknya, lalu mendorongnya untuk berbuat dan bergerak guna meninggikan kalimat dien ini."
Ilmu yang mendorong untuk berloyal karena Allah dan memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.
Ilmu yang mendorongnya untuk memerangi musuh-musuh tauhid dan ahlinya, serta membela dan menolong ahli tauhid dan pasukannya.
Ilmu yang menghantarkan kepada pemahaman yang hakiki terhadap makna tauhid dan tuntutannya dan mendorong untuk beramal dan beriltizam (konsisten). Yaitu ilmu yang bersumber dari Al Qur'an dan As Sunnah, jauh dari teori ahli kalam dan ideologi mereka.
Adapun ilmu yang berhenti pada analisa yang tidak mendasar dalam hati sehingga membentuk keyakinan, tidak mendorong untuk iltizam dan beramal, maka tidak berguna sedikitpun baginya, tidak menambah kecuali dosa.
Adapun ilmu yang berhenti pada analisa yang tidak mendasar dalam hati sehingga membentuk keyakinan, tidak mendorong untuk iltizam dan beramal, maka tidak berguna sedikitpun baginya, tidak menambah kecuali dosa.
Pengetahuan seperti inilah yang dimiliki Iblis la'natullah, para ulama dan rahib ahli kitab. Ilmu mereka tidak memberi manfaat sedikitpun, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri." Namun mereka tetap tidak mau mengikuti dan tunduk kepada ajaran dan petunjuk syariat, maka tidak memberi manfaat sedikitpun pengatahuan tersebut.
(PurWD/voa-islam.com)

Sabtu, 26 Juni 2010

Koleksi Kata Mutiara Islam Bertambah


Widget Kata Mutiara Islam Harian
Widget “Kata Mutiara Islam Harian” yang diluncurkan bebarapa waktu lalu, alhamdulillah, cukup mendapat hati dari para pengunjung. Ia telah digunakan oleh lebih dari 1000 orang hingga saat ini.
Hari ini saya berkesempatan menambah koleksi kata mutiara yang akan ditampilkan pada widget tersebut. Jika sebelumnya kata mutiara islam berbahasa indonesia hanya berjumlah sekitar 50 hikmah, kini koleksi ini telah bertambah menjadi sekitar 160. Dengan demikian, hikmah dankata mutiara yang muncul akan lebih beragam dan berbedasetiap hari. Saya berharap dapat menambah kata mutiara islam ini menjadi sejumlah hari dalam satu tahun, sehingga benar-benar menjadi widget kata mutiara islam harian.
Berikut ini adalah sebagian dari koleksi kata mutiara tersebut. Saya ambilkan dari yang berawalan huruf A saja. Selebihnya, silakan memasang dan menikmati sajian dari widget kata mutiara islam harian, :)

Kata-kata mutiara islam

  • Ada dua perkara yang jika Anda Amalkan, Anda akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat: Menerima sesuatu yang tidak Anda sukai, jika sesuatu itu disukai Allah. Dan membenci sesuatu yang Anda sukai, jika sesuatu itu dibenci oleh Allah.”
    (Abu Hazim)
  • Ada enam perkara, apabila dimiliki oleh seseorang maka telah sempurnalah keimanannya : (1) memerangi musuh Allah dengan pedang, (2) tetap menyempurnakan puasa walaupun di musim panas, (3) tetap menyempurnakan wudhu walaupun di musim dingin, (4) tetap bergegas menuju mesjid (untuk melaksanakan shalat berjama’ah) walaupun di saat mendung, (5) meninggalkan perdebatan dan berbantah-bantahan walaupun ia tahu bahwa ia berada di pihak yang benar dan (6) bersabar saat ditimpa musibah.”
    (Yahya bin Muadz)
  • Ada tiga golongan orang yang paling menyesal pada hari kiamat : (1) orang yang memiliki budak ketika di dunia, ternyata pada hari kiamat budak tersebut memiliki prestasi amal yang lebih baik darinya, (2) orang yang mempunyai harta tetapi tidak mau bersedekah dengannya sampai ia meninggal dunia, kemudian harta tersebut diwarisi oleh orang yang memanfaatkan harta tersebut untuk bersedekah di jalan Allah, dan (3) orang yang mempunyai ilmu tetapi ia tidak mau mengambil manfaat dari ilmunya, lalu ilmu tersebut diketahui oleh orang lain yang mampu mengambil manfaat darinya.”
    (Sufyan bin ‘Uyainah)
  • Akhlak yang paling mulia adalah menyapa mereka yang memutus silaturahim, memberi kepada yang kikir terhadapmu, dan memaafkan mereka yang menyalahimu.”
    (HR Ibnu Majah)
  • Aku belum pernah melihat orang yang paling lama bersedih daripada al-Hasan. Ia berkata, kita tertawa, sementara bisa jadi Allah yang telah melihat amal-amal yang telah kita perbuat berfirman, ‘Aku tidak mau menerima amal-amal kalian sedikitpun.’”
    (Yunus bin ‘Ubaid)
  • Aku jamin rumah di dasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.”
    (HR Abu Daud)
  • Aku menangis bukan karena takut mati atau karena kecintaanku kepada dunia. Akan tetapi, yang membuatku menangis adalah kesedihanku karena aku tidak bisa lagi berpuasa dan shalat malam.”
    (‘Amir bin ‘Abdi Qais)
  • Aku tidak suka menjadi seorang pedagang budak. Akan tetapi, menjadi pedagang budak lebih aku sukai daripada aku menimbun bahan makanan sambil menunggu naiknya harga yang memberatkan sesama muslim.”
    (Yazid bin Maisaroh)
  • Amal yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidaklah diterima. Jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, juga tidak akan diterima kecuali jika dilakukan secara ikhlas. Ikhlas artinya dilakukan hanya karena Allah. Adapun benar artinya adalah sesuai dengan sunnah (tuntunan dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).”
    (Fudhail bin ‘Iyadh)
  • Apa pendapat Anda bila ada seseorang yang pakaiannya terkena air kencing, lalu ia hendak mensucikannya dengan air kencing pula? Mungkinkah air kencing itu dapat mensucikannya? Tentu saja tidak! Kotoran tidak dapat disucikan kecuali dengan sesuatu yang suci. Begitu pula halnya keburukan yang pernah kita lakukan, tidak akan dapat terhapus kecuali dengan memperbanyak melakukan kebaikan.”
    (Sufyan ats-Tsauri)
  • Apabila akhirat ada dalam hati, maka akan datanglah dunia menemaninya. Tapi apabila dunia ada di hati maka akhirat tidaklah akan menemaninya. Itu karena akhirat mulia dan dermawan, sedangkan dunia adalah hina”
    (Abu Sulaiman Ad Daroni)
  • Apabila Anda berharap agar Allah senantiasa menganugerahkan kepada Anda apa-apa yang Anda cintai dan sukai maka hendaklah Anda senantiasa menjaga dan melaksanakan apa-apa yang dicintai dan disukai oleh Allah.”
    (Salah seorang ahli hikmah)
  • Apabila kalian senang Allah ta’ala dan Rasul-Nya mencintai kalian, maka tunaikanlah amanah kalian, dan benarlah jika berbicara, dan bertetanggalah dengan baik kepada tetangga kalian.”
    (HR Imam Suyuthi)
  • Ayahku pernah mengatakan bahwa apabila ‘Ali bin al-Husain selesai berwudhu dan telah bersiap untuk shalat, tubuhnya akan gemetar dan menggigil. Pernah ada seorang lelaki yang bertanya kepadanya tentang hal itu, maka ‘Ali bin al-Husain menjawab, ‘Celakalah Engkau! Tidakkah kau tahu, kepada siapa aku akan menghadap? Dan kepada siapa aku akan bermunajat?’”
    (al-’Utaibi)
Semoga bermanfaat.

Kata Mutiara Islami tentang Cinta



Mutiara islam tentang cinta
Kata cinta, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan wakil dari perasaan kasih, sayang, atau rindu yang sangat dalam. Namun dalam konteks atau kadar kalimat tertentu, ia bisa juga mewakili perasaan sedih.
Cinta adalah salah satu sumber kekuatan unik dalam diri manusia. Ia menjadi tenaga penggerak hati dan jiwa yang akan menghasilkan sikap, perbuatan dan perilaku. Cinta bisa seperti yang terurai dalam sebait sajak dari film laris indonesia, Ketika Cinta Bertasbih:
Cinta adalah kekuatan yg mampu
mengubah duri jadi mawar
mengubah cuka jadi anggur
mengubah sedih jadi riang
mengubah amarah jadi ramah
mengubah musibah jadi muhibah.
Namun demikian, cinta pun bisa menghasilkan perubahan yang sebaliknya: mengubah mawar menjadi duri, dan seterusnya.
Hal yang demikian bisa terjadi karena cinta bersemayam di dalam hati yang bersifat labil. Sepertisabda Rasulullah saw. hati itu bersifat gampang terbolak-balik bagaikan bulu yang terombang-ambing oleh angin yang berputar-putar. Sebagaimana amal-amal dan perilaku kita yang senantiasa bersumber dari niat dan motivasi di dalam hati, maka cinta pun bisa mewujud dengan dasar niat yang beraneka rupa. Ada cinta yang tulus, penuh kerelaan. Namun ada pula cinta yang penuh duri dan racun. Ada cinta yang merupakan buah keimanan dan ketaqwaan. Namun ada pula cinta yang berlandaskan nafsu hina.
Bagi seorang muslim dan beriman, cnta terbesar dan cinta hakiki ialah cinta kepada Allah. Bentuk cinta dapat kita wujudkan dalam berbagai rupa tanpa batas ruang dan waktu dan kepada siapa atau apa saja asalkan semuanya bersumber dari kecintaan kita kepada Allah dan karena menggapai ridha-Nya.
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (Al-Baqarah: 165)
Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (ikutilah Muhammad saw.), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (Ali Imran: 31)
“Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. At Tirmidzi)

Kata-kata mutiara tentang cinta

Agar cinta tidak menjerumuskan kita ke dalam lubang kehinaan, ada baiknya kita mengambil hikmah dari sumber-sumber islam dan perkataan para ulama berikut ini.
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.
Hamka
Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.
Hamka
Tanda cinta kepada Allah adalah banyak mengingat (menyebut) Nya, karena tidaklah engkau menyukai sesuatu kecuali engkau akan banyak mengingatnya.
Ar Rabi’ bin Anas (Jami’ al ulum wal Hikam, Ibnu Rajab)
Aku tertawa (heran) kepada orang yang mengejar-ngejar (cinta) dunia padahal kematian terus mengincarnya, dan kepada orang yang melalaikan kematian padahal maut tak pernah lalai terhadapnya, dan kepada orang yang tertawa lebar sepenuh mulutnya padahal tidak tahu apakah Tuhannya ridha atau murka terhadapnya.
Salman al Farisi (Az Zuhd, Imam Ahmad)
Sesungguhnya apabila badan sakit maka makan dan minum sulit untuk tertelan, istirahat dan tidur juga tidak nyaman. Demikian pula hati apabila telah terbelenggu dengan cinta dunia maka nasehat susah untuk memasukinya.
Malik bin Dinar (Hilyatul Auliyaa’)
Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu.
Ali bin Abi Thalib
Engkau berbuat durhaka kepada Allah, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya? Sungguh aneh keadaan seperti ini. Andai kecintaanmu itu tulus, tentu engkau akan taat kepada-Nya. Karena sesungguhnya, orang yang mencintai itu tentu selalu taat kepada yang ia cintai.
A’idh Al-Qorni
Demikianlah beberapa kutipan dari sedikit tokoh-tokoh islam yang semoga bisa kita ambil hikmahnya. Semoga Allah memudahkan saya untuk menambah koleksi ini dan memberikan manfaat kepada pembacanya.

Sabtu, 19 Juni 2010

Perbedaan Ahli Tauhid Dengan Musyrik (3)


Ibadah Tidak Boleh Dicampur Syirik
Allah, Dzat yang Mahabenar dan Maha tinggi, berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Seandainya mereka (para Nabi-nabi terdahulu) mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. Al An'am: 88)
Dan dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
"Aku adalah sekutu yang paling kaya, tidak butuh pada persekutuan. Siapa yang melakukan satu amalan, di dalamnya dia menyekutukan Aku dengan yang lain, pasti Aku tinggalkan dia dan sekutunya." (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Dien Islam dibangun di atas dua landasan dasar. Yaitu merealisasikan syahadat Laa Ilaaha Illallaah dan syahadat Muhammad Rasuulullaah.
Dien Islam dibangun di atas dua landasan dasar. Yaitu merealisasikan syahadat Laa Ilaaha Illallaah dan syahadat Muhammad Rasuulullaah. . .
Dasar pertama, janganlah engkau mengangkat tuhan yang lain bersama Allah. Jangan cintai makhluk seperti mencintai Allah. Jangan berharap kepada makhluk sebagaimana berharap kepada Allah. Jangan takut terhadap makhluk sebagaimana takut terhadap Allah. Siapa yang menyamakan makhluk dengan khaliq (pencipta) dalam sesuatu hal, maka dia telah menyamakannya dengan Allah. Dia termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan mereka. Berarti dia telah mengangkat tuhan bersama Allah, walaupun di saat itu dia berkeyakinan Allah adalah Esa, satu-satu pencipta langit dan bumi.
Sesungguhnya kaum musyirikin Arab kala itu menyatakan bahwa Allah adalah Esa, satu-satunya yang mencipta langit dan bumi. Hal ini sebagaimana yang Dia firmankan:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab: 'Allah'." (QS. Luqman: 25)
Bersamaan dengan itu, mereka berbuat syirik dengan menjadikan tuhan lain bersama Allah. Allah berfirman:
أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آَلِهَةً أُخْرَى قُلْ لَا أَشْهَدُ
"Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: 'Aku tidak mengakui'." (QS. Al An'am: 19)
Allah berfirman lagi:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (QS. Al Baqarah: 165) Maka mereka menjadi orang musyrik karena mencintai selain Allah sebagaimana mencintai Allah. Bukan karena mereka berucap: "sesungguhnya tuhan-tuhan kalian telah menciptakan (sesuatu) seperti yang Allah ciptakan." Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan: "Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" (QS. Al Ra'du: 16)
Siapa yang menyamakan makhluk dengan khaliq (pencipta) dalam sesuatu hal, maka dia telah menyamakannya dengan Allah.
Ini adalah bentuk istifham inkari (kalimat pertanyaan untuk mengingkari) yang memiliki makna nafyun (meniadakan). Maknanya mereka tidak menjadikan sekutu bagi Allah yang dapat mencipta seperti ciptaan-Nya. Mereka mengakui bahwa sesembahan-sesembahan mereka tidak mencipta seperti ciptaan Allah. Mereka hanya menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai pemberi syafa'at dan perantara. Allah Ta'ala berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah'." (QS. Yunus: 18)
"Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?.
Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?.
Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku." (QS. Yaasin: 22-25)
Dasar kedua: kita menyembah Allah dengan menggunakan syariat-Nya melalui lisan para rasul-Nya. Kita tidak beribadah kecuali dengan sesuatu yang wajib atau yang sunnah, sedangkan amal mubah jika diniatkan ketaatan masuk dalam kategori ini. Dan doa masuk bagian ibadah. Siapa yang berdoa dan beristightsah kepada makhluk, yang sudah mati atau yang ghaib, padahal Allah dan rasul-Nya tidak memerintahkannya dalam bentuk wajib ataupun sunnah, maka dia telah berbuat bid'ah (mengada-adakan hal baru) dalam masalah agama. Dia berbuat syirik kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan mengikuti selain jalan kaum mukminin. Siapa yang meminta kepada Allah Ta'ala melalui makhluk-Nya atau bersumpah kepadanya dengan nama makhluk-Nya, maka telah berbuat bid'ah yang tidak pernah Allah turunkan keterangan tentangnya. Jika dia mencela orang yang berusaha meluruskannya dan memusuhinya, maka termasuk orang dzalim, jahil, dan melampaui batas.
kita menyembah Allah dengan menggunakan syariat-Nya melalui lisan para rasul-Nya.
Jika dia menvonis dengan hal itu, sungguh dia telah memutuskan perkara dengan selain yang Allah turunkan. Hukumnya melanggar ijma' kaum muslimin. Dia disuruh taubat dari hukum ini dan dikenai sangsi lebih dibutuhkannya daripada tetap melaksanakannya dan ditolong menegakkannya. Semua perkara ini telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, tidak ada khilaf di dalamnya, baik di kalangan imam madzhab empat atau yang lainnya." (Majmu' Fatawa: 1/108-109)
Siapa yang meminta kepada Allah Ta'ala melalui makhluk-Nya atau bersumpah kepadanya dengan nama makhluk-Nya, maka telah berbuat bid'ah yang tidak pernah Allah turunkan keterangan tentangnya.

Beliau berkata lagi, "Islam mengandung makna istislam (tunduk dan patuh) kepada Allah semata. Siapa yang beristislam kepada-Nya dan kepada selain-Nya, berarti telah musyrik. Siapa yang tidak mau tunduk kepada-Nya, berarti sombong dari ibadah kepada-Nya. Dan orang yang sombong dari beribadah kepada Allah adalah kafir. Beristislam kepada Allah semata mengandung makna beribadah dan taat hanya kepada-Nya. Inilah Dienul Islam yang Allah tidak menerima agama selainnya." (Majmu' Fatawa: 3/91)
Beliau berkata lagi, "seseorang bisa menjadi muslim yang lurus dan bertauhid apabila bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah. Dia beribadah hanya kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan salah seorangpun dalam menyembah, mencintai, beribadah, bertaubat, berislam, berdoa, bertawakkal, berloyal, memusuhi karena-Nya, mencintai sesuatu yang dicintai-Nya dan membenci yang dibenci-Nya, serta mensterilkan kebenaran tauhid dari kebatilan syirik. Ini adalah peniadaan yang diikuti dengan penetapan. Meniadakan ibadah kepada selain Allah dan hanya memberikan ibadah kepada Allah semata. Semua ini adalah bentuk realisasi dari kalimat Laa Ilaha Illallaah. Mengosongkan dan meniadakan hatinya dari segala bentuk penuhanan kepada selain Allah. Lalu menetapkan dan menanamkan dalam hatinya penuhanan untuk Allah semata. Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadits shahih: "Siapa yang mati, sementara dia tahu tiada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah, pasti dia masuk surga." Dalam hadits lainnya, "siapa yang ucapan terakhirnya adalah Laa Ilaaha Illallaah (tiada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah) pasti masuk surga." Dan beliau bersabda dalam Ash Sahih: "Talqinlah (tuntunlah)  orang yang mau meninggal (untuk mengucapkan) Laa Ilaaha Illallah." Sesungguhnya hal itu adalah hakikat ajaran Islam. Siapa yang mati di atasnya, dia mati sebagai seorang muslim." (Majmu' Fatawa: 8/369)
Imam Al Syaukani rahimahullah berkata, "tidak cukup hanya mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah tanpa mengaplikasikan maknanya lalu ditetapkan sebagai muslim. Sungguh, kalau orang jahiliyah mengucapakannya tapi tetap menyembah patungnya, maka tidak menjadi orang Islam." (Al Durr al Nadlid fi Ikhlasi Kalimah at Tauhid: 40)
"tidak cukup hanya mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah tanpa mengaplikasikan maknanya lalu ditetapkan sebagai muslim. . . " (Imam Asy Syaukani)
(PurWD/voa-islam)

Perbedaan Ahli Tauhid dengan Musyrik (2)


Ibadah kepada Allah harus dengan syariat yang ditentukan-Nya
Tidak boleh beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan syariat-Nya yang disampaikan oleh Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menerima amal apapun kecuali diniatkan hanya untuk Allah, Dzat yang tidak memiliki sekutu, dan sesuai dengan sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (QS. Al Bayyinah: 5)
Kata haniif, maksudnya adalah sengaja meninggalkan kesyirikan dengan didasari ilmu dan pengetahuan.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "al Haniif, adalah orang yang berpaling dari syirik dengan sengaja. Maksudnya meninggalkannya karena mengetahuinya, dan menerima kebenaran secara keseluruhan, tidak ada yang bisa menghalanginya dan tidak ada yang bisa mengembalikannya kepada kesyikiran."
Orang-orang sesat dari kalangan musyrikin dan Nashrani serta orang-orang semisal mereka, juga melakukan ibadah dan kezuhudan, namun ditujukan kepada selain Allah atau tidak sesuai dengan perintah Allah. Sesungguhnya tujuan dan keinginan yang memberikan manfaat adalah keinginan untuk beribadah kepada Allah semata dan hanya mau beribadah dengan yang disyariatkan-Nya, bukan dengan syariat yang diada-adakan sendiri. Maka di atas dua dasar inilah agama Islam dibangun. Yaitu Allah semata yang diibadahi dan diibadahi dengan menggunakan syariat-Nya, bukan dengan aturan yang diada-adakan sendiri yang disebut dengan bid'ah. (Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah: 18/173)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak." (Muttafaq 'alaih, lafadz milik Muslim)
Ibnu Mas'ud radliyallah 'anhu berkata, "ber-itiba'-lah jangan jadi mubtadi' (pembuat bid'ah), sungguh sudah cukup. Sesungguhnya setiap yang diada-adakan (dalam urusan ibadah) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." (Riwayat ad Darimi, al Baghawi, al Laalikaii, dan Ibnu Baththah)
Al Hasan al Bashri rahimahullah berkata, "dan selama-lamanya Allah tidak akan menerima sebuah amalan yang dilakukan seorang mubtadi' untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Baik itu shalat, puasa, zakat, haji, jihad, umrah dan shadaqah." Sampai beliau menyebutkan beberapa amal kebajikan. (Ibnu Baththah dalam kitab Syarh al Ibanah)
Mubtadi' adalah orang yang mengada-ada hal baru dalam agama yang bukan bagian darinya dan beribadah kepada Allah dengan selain syariat-Nya.
Mubtadi' adalah orang yang mengada-ada hal baru dalam agama yang bukan bagian darinya dan beribadah kepada Allah dengan selain syariat-Nya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; "setiap amal bid'ah adalah kesesatan dalam beragama. Dasarnya berkata tentang Allah tanpa ilmu. Karena inilah para ulama salaf dan para imam sangat mengingkarinya dan menyatakan bahwa pelakunya termasuk penghuni bumi yang buruk. Mereka sangat menghawatirkan fitnahnya, dan benar-benar mengingkarinya tidak seperti mengingkari terhadap perbuatan hina, dzalim, permusuhan. Semua ini dikarenakan dahsyatnya bahaya dan daya rusak bid'ah terhadap agama, dan menghilangkan ajarannya. Allah Ta'ala telah mengingkari orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu dalam masalah agama yang berasal dari dirinya sendiri tanpa ada argumentasi dari Allah. Dia berfirman,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah." (Madarijus Salikin: 1/157)
Beliau berkata lagi, "di antaranya: tidak boleh membiarkan tempat kesyirikan dan thaghut-thaghut setelah mampu menghancurkannya dan menghabisinya dalam satu hari. Itu semua merupakan syiar kekufuran dan kesyirikan yang merupakan kemungkaran terbesar. Tidak boleh membiarkannya barang sedikitpun setelah memiliki kekuatan. Seperti inilah hukum terhadap bangunan yang didirikan di atas kuburan yang dijadikan berhala dan tuhan yang disembah selain Allah. Dan batu-batu yang diagungkan dan dimintai berkah, di jadikan bernadzar dan diciumi, tidak boleh dibiarkan ada di muka bumi padahal mampu menghilangkannya . . ." 
Para thaghut-thaghut yang disembah tadi tidak diyakini telah mencipta dan memberi rizki, tidak pula menghidupkan dan mematikan. Mereka melakukan itu karena meniru perbuatan saudara-saudara mereka dari kalangan musyrikin terhadap tuhan-tuhan mereka. Lalu mereka mengikuti adat kebiasaan umat-umat sebelum mereka, meniti langkah mereka setapak demi setapak, meniru mereka sedikit semi sedikit sehingga tersebarlah kesyirikan di tengah-tengah manusia karena kejahilan dan hilangnya ilmu. Hingga akhirnya yang baik dianggap buruk dan yang buruk dianggap baik, sunnah dianggap bid'ah dan bid'ah dianggap sunnah sehingga ajaran Islam menjadi sangat asing.
Jumlah ulama sedikit, orang bodoh banyak, bencana merata, dan kerusakan tersebar di daratan dan lautan disebabkan olah tangan manusia. Tetapi, masih akan ada sekelompok dari umat Muhammad yang tegak di atas kebenaran, berjihad melawan orang-orang musyrik dan ahli bid'ah hingga Allah mewariskan bumi ini dan para penghuninya kepada mereka, dan Allah adalah Waris yang paling baik.
. . . Allah tidak diibadahi kecuali dengan syariat yang ditetapkan oleh-Nya melalui lisan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak boleh diibadahi dengan hawa nafsu dan anggapan-anggapan baik . .
Dan kami katakan, "Sesungguhnya Allah tidak diibadahi kecuali dengan syariat yang ditetapkan oleh-Nya melalui lisan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak boleh diibadahi dengan hawa nafsu dan anggapan-anggapan baik yang dibuat para taghut melalui lisan para syetan."
(PurWD/voa-islam)

Kenapa Dinamakan Hari Jum'at?


Hari Jum'at merupakan nikmat rabbaniyah yang selalu dijadikan lahan kedengkian musuh-musuh Islam. Hari Jum'at merupakan karunia dari Allah untuk umat ini yang telah dijadikan sebagai umat terbaik yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia. Allah mengutamakan hari ini di atas hari-hari dalam satu pekan, lalu Dia mewajibkan kepada orang Yahudi dan Nashrani untuk mengagungkannya. Tapi, mereka melanggarnya dan memilih hari selainnya sehingga mereka tersesat dan tidak mendapat petunjuk. Kemudian Allah menunjuki umat ini kepada hari yang mulia ini dengan mengagungkannya.
Dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
نَحْنُ الآخِرُونَ السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوْتُوْا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا، ثُمَّ هذَا يَومُهُمُ الَّذِي فُرِضَ عَلَيْهِمْ فَاخْتَلَفُوا فِيهِ فَهَدَانَا اللهُ، فَالنَّاسُ لَنَا فِيْهِ تَبَعٌ : اليَهُوْدُ غَداً ، وَالنَّصَارَى بَعْدَ غَدٍ
"Kita adalah orang terakhir, namun yang pertama pada hari kiamat meskipun mereka telah diberikan kitab sebelum kita. Hari ini (Jum'at) adalah hari yang telah Allah wajibkan atas mereka, namun mereka menyelisihinya. Maka Allah menunjuki kita akan hari itu sehingga orang-orang mengikuti kita dalam hari ini, sementara orang-orang Yahudi besok dan orang-orang Nashrani besoknya lagi (lusa)." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, al Nasai dan lainnya)
Maksud "kita sebagai orang terakhir" adalah sebagai umat terakhir keberadaannya di dunia. Namun di akhirat akan mendahului mereka. Yaitu menjadi umat pertama yang dihimpun di Mahsyar, umat pertama yang dihisab, umat pertama yang diadili, dan umat pertama yang akan masuk surga.
  • Maksud "kita sebagai orang terakhir" adalah sebagai umat terakhir keberadaannya di dunia.
  • Namun di akhirat akan mendahului mereka. Yaitu menjadi umat pertama yang dihimpun di Mahsyar, umat pertama yang dihisab, umat pertama yang diadili, dan umat pertama yang akan masuk surga.
Dalam riwayat Muslim dari hadits Hudzaifah, "Kami umat terakhir dari penduduk bumi, namun menjadi umat pertama pada hari kiamat yang diadili sebelum umat-umat lain."
Dan dalam riwayat Muslim lainnya, "Kita adalah orang terakhir, namun yang paling awal pada hari kiamat. Dan kita adalah orang yang pertama kali masuk surga."
Sedangkan maksud diwajibkan adalah wajib memuliakan hari tersebut. Menurut Ibnu Baththal, mereka tidak diperintahkan dengan jelas untuk memuliakan hari Jum'at yang kemudian mereka tinggalkan. Alasannya, seseorang tidak boleh meninggalkan kewajiban yang Allah tetapkan atasnya sementara masih berstatus mukmin. Lalu beliau rahimahullah berkata, "diwajibkan atas mereka (memuliakan) satu hari dalam sejum'at. Lalu mereka diberi pilihan untuk menegakkan syari'at mereka pada hari itu. Kemudian mereka berselisih tentang hari itu dan tidak mendapat petunjuk untuk memilih hari Jum'at." demikian juga yang dinyatakan oleh al Qadli 'Iyadh. (Lihat Fathul Baari: 2/355)
Imam al Nawawi rahimahullah berkata, "Mungkin juga mereka telah diperintah dengan jelas, lalu mereka berselisih pendapat apakah wajib menentukan hari itu saja atau dibolehkan untuk menggantinya dengan hari lain. Kemudian mereka berijtihad dalam hal itu, lalu salah." (Lihat Fathul Baari: 2/355)
Dan dalam Fathul Baari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sebuah hadits penutup terhadap masalah ini yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari jalur Thariq Asbath bin Nashr, dari al Sudiy dengan lafadz yang sangat jelas bahwa mereka diwajibkan untuk memuliakan hari Jum'at saja lalu mereka menolak. Lafadz haditsnya sebagai berikut:
إِنَّ اللَّه فَرَضَ عَلَى الْيَهُود الْجُمُعَة فَأَبَوْا وَقَالُوا : يَا مُوسَى إِنَّ اللَّه لَمْ يَخْلُق يَوْم السَّبْت شَيْئًا فَاجْعَلْهُ لَنَا
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (untuk mengagungkan) hari Jum'at atas Yahudi, lalu mereka menolaknya dan berkata, "Hai Musa, sesungguhnya Allah tidak menciptakan apa-apa pada hari Sabtu, maka jadikan hari itu untuk kami." (Fathul Baari: 3/277 dari Maktabah Syamilah) dan sikap ngeyel dan penyimpangan mereka bukanlah hal yang aneh.
Makna Jum'at dan sebab dinamakan Jum'at
Jum'at secara bahasa bermakna satu pokok yang menunjukkan berkumpulnya sesuatu. Dan disebut hari jum'at karena orang-orang yang jumlahnya banyak berkumpul pada hari itu. (al Nihayah: 1/297)
Sedangkan secara istilah, Jum'at adalah nama dari salah satu hari dalam sepekan, yang pada hari itu dikerjakan shalat khusus, yaitu shalat Jum'at. Dan dikatakan shalat khusus karena pelaksanaannya berbeda dengan shalat liwa waktu, khususnya shalat dzuhur. Pada shalat Jum'at bacaannya jahr, jumlah rakaatnya hanya dua, diawali dengan khutbah, dan memiliki beberapa keistimwaan pahala.
Hari Jum'at pada masa jahiliyah dikenal dengan nama الْعَرُوبَة (al 'arubah), karena mereka mengagungkannya. Orang pertama yang menyebut al-'Arubah adalah Ka'ab bin Lua-i. Pada hari itu, orang-orang Quraisy biasa berkumpul padanya lalu dia menyampaikan ceramah seraya memberikan nasihat dan memerintahkan mereka untuk mengagungkan tanah haram. Dia juga mengabarkan kepada mereka dari sana akan ada Nabi yang diutus. Dan ketika sudah diutus kelak, dia memerintahkan kepada kaumnya untuk taat dan beriman kepadanya.
Dari sini semakin jelaslah bahwa hari Jum'at belum masyhur pada masa jahiliyah. Maka tepatlah yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, "bahwa jum'at adalah nama Islami yang tidak dikenal pada masa jahiliyah. Pada masa itu, hari Jum'at dinamakan dengan al-'arubah." (Fathul Baari: 3/275 dari Maktabah Syamilah)
Tentang sebab dinamakan hari tersebut dengan Jum'at, banyak pendapat yang memberikan alasan, di antaranya:
  • Karena berkumpulnya banyak orang pada hari itu.
  • Karena Adam dan Hawa berkumpul pada hari itu.
  • Karena di dalamnya berkumpul berbagai kebaikan.
  • Karena pada hari itu kesempurnaan makhluk dikumpulkan.
  • Karena manusia berkumpul pada hari itu untuk shalat.
  • Karena penciptaan Adam dikumpulkan pada hari itu.
    Menurut Ibnu Hajar, pendapat yang paling benar tentang sebab dinamakannya hari jum'at adalah pendapat terakhir, karena penciptaan Adam dikumpulkan pada hari itu. Dengan ini maka hikmah dipilihkannya hari Jum'at untuk umat Muhammad karena pada hari itu terjadinya penciptaan Adam. Dan manusia diciptakan hanya untuk ibadah, maka layaklah kalau pada hari itu dia hanya sibuk dengan ibadah. Dan juga karena Allah Ta'ala menyempurnakan penciptaan makhluk-makhluk pada hari itu dan menciptakan manusia pada hari itu juga sehingga bisa memanfaatkannya. Maka tepatlah, kalau pada hari itu mereka menggunakannya untuk bersyukur kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya. Wallahu Ta'ala A'lam
    Maka tepatlah, kalau pada hari itu mereka menggunakannya untuk bersyukur kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya.
    Oleh : Purnomo
    (PurWD/voa-islam.com)

    Kamis, 17 Juni 2010

    Ilmu Perbintangan dan Ramalan Cuaca dalam Perspektif Islam

    Oleh: DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
    مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنْ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنْ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
    Barang siapa yang mengutip satu ilmu dari ilmu perbintangan, berarti dia telah mengutip satu cabang dari ilmu sihir.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
    Hadits di atas, walaupun secara tidak langsung, telah memperingatkan kepada umat Islam agar tidak coba-coba mempelajari ilmu perbintangan. Karena ilmu tersebut merupakan salah satu cabang dari ilmu sihir, sedang ilmu sihir sendiri telah diharamkan dalam Islam, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Demikianlah pesan hadits di atas secara global. Namun alangkah baiknya, kalau permasalahan tersebut kita kembangkan lebih luas lagi, mengingat banyak berhubungan dengan berbagai masalah yang terjadi di sekitar kita.
    Pengertian Ilmu Perbintangan
    Sebelumnya, marilah kita simak dahulu apa yang dikatakan Syekh Islam Ibnu Taimiyah tentang pengertian Ilmu perbintangan. Beliau mengatakan bahwa: “Ilmu Perbintangan adalah ilmu yang mempelajari fenomena yang terjadi di langit dan menjadikannya sebagai standar (petunjuk) atas terjadinya sesuatu di bumi.”
    Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa dalam ilmu perbintangan, seseorang dituntut untuk selalu mengaitkan peristiwa yang terjadi di bumi ini dengan peristiwa yang terjadi di langit. Sebagai contoh, suatu hari di langit sedang terjadi gerhana matahari, maka seorang ahli ilmu perbintangan akan mengaitkan gerhana matahari tersebut dengan adanya peristiwa besar yang sedang, atau akan terjadi di muka bumi ini. Seperti seorang pemimpin yang meninggal dunia. Contoh lain, ketika ada sebuah meteor di langit yang sedang bergeser dan jatuh ke bumi atau ke tempat lainnya, maka seorang ahli ilmu perbintangan akan mengatakan bahwa telah lahir seorang anak yang cerdas dan hebat. Contoh ketiga, anak yang lahir pada malam bulan purnama, menunjukkan bahwa anak tersebut akan menjadi orang kaya dikemudian hari. Contoh keempat, banyak orang Islam yang berkeyakinan bahwa malam Jum’at Kliwon adalah malam yang seram dan keramat. (Malam dan siang adalah perubahan alam akibat peristiwa yang terjadi di langit, karena akibat terjadinya bergeseran antara bumi dan matahari).
    Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari amalan-amalan yang telah dipraktekkan sekolompok manusia. Bahkan amalan-amalan tersebut telah berubah menjadi sebuah keyakinan yang dianut oleh sebagian masyarakat hingga hari ini dan tidak boleh diganggu gugat. Keyakinan-keyakinan semacam itu, kalau ditelusuri ternyata telah terjadi berabad-abad lamanya. Hal ini bisa dilihat dengan jelas ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, kebetulan bersamaan dengan itu, putra tercinta beliau, Ibrahim, di panggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (meninggal dunia). Kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam agar mengumpulkan kaum muslimin di masjid untuk melaksanakan shalat kusuf (shalat gerhana matahari). Setelah selesai shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
    إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ
    Bahwa matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah dan gerhana matahari ini tidak ada kaitannya dengan kematian atau kehidupan seseorang.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
    Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam yang hidup pada empat belas abad yang silam telah mengetahui bahwa masyarakat pada waktu itu masih menyakini terjadinya gerhana matahari merupakan tanda adanya seseorang tokoh besar yang lahir atau meninggal. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, "Dari Ibnu Abbas rahimahullah 'anhu, bahwa orang-orang Anshar pada suatu hari, ketika duduk bersama nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba mereka melihat bintang atau meteor yang bergeser, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat Anshar yang ada di situ: “Bagaimana keyakinan kalian pada masa Jahiliyah ketika melihat kejadian seperti ini?" Mereka menjawab: “Kami dahulu berkeyakinan bahwa bergesernya bintang atau jatuhnya meteor merupakan tanda lahir atau meninggalnya seorang pembesar." Mendengar jawaban itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
    فَإِنَّهَا لَا يُرْمَى بِهَا لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى اسْمُهُ إِذَا قَضَى أَمْرًا سَبَّحَ حَمَلَةُ الْعَرْشِ
    Sesungguhnya bergesernya bintang atau jatuhnya meteor, tidaklah menunjukan kematian atau kehidupan seseorang, akan tetapi jika Allah memutuskan sesuatu, maka para pembawa Arsy (para malaikat) pada bertasbih.
    Inilah hakikat ilmu perbintangan, sebagaimana yang telah disebutkan Ibnu Taimiyah di atas. Semua ilmu yang mengandung unsur-unsur seperti itu, maka haram untuk dipelajarinya dan orang Islampun dilarang mempercayainya. Kenapa? Karena keyakinan seperti itu bertentangan dengan Aqidah Islamiyah yang mengajarkan kepada kita bahwa semua yang ada di bumi ini tidak akan terjadi kecuali atas kehendak dan taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di langit. Begitu juga, semua orang tidak akan tahu apa yang akan terjadi di bumi ini, karena termasuk hal-hal ghaib yang hanya Allah semata yang mengetahuinya. Kecuali apa yang telah disebutkan Allah di dalam Al-Quran dan disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam hadits, keduanya merupakan bentuk wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, tidak berhak bagi siapapun juga untuk mengaku bahwa dia mengetahui peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang dengan menggunakan ilmu perbintangan.
    Namun demikian, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Allah menjadikan peristiwa di langit sebagai salah satu sebab terjadinya bencana di muka bumi ini atau salah satu sarana untuk mengadzab suatu kaum, seperti halnya ketika Allah menghancurkan kaum ‘Aad dengan angin yang sangat kencang tepat pada waktunya yaitu diakhir musim dingin. Yang jelas, itu semua atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karenanya, ketika terjadi sebuah peristiwa besar di langit, kita umat Islam di perintahkan untuk tadharru’ (bersimpuh) di hadapan Allah dengan memperbanyak ibadah, seperti shalat, dzikir, istighfar dan bersedekah, sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika terjadi gerhana matahari pada waktu itu. Bahkan, perintah tersebut bukan terbatas ketika terjadi gerhana matahari dan bulan saja. Ketika ada tanda-tanda akan terjadinya malapetaka atau bencana alam serta kejadian-kejadian besar lainnya yang membahayakan kehidupan manusia, kita diperintahkan juga untuk memperbanyak ibadah, istighfar, dan bersedekah. Karena amalan-malan tersebut merupakan salah satu sarana menolak malapetaka dan menolak bala’).
    Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan pernyataan di atas, yaitu:
    Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
    وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
    Dan Allah sekali-kali tidak mengadzab mereka, sedang kamu berada diantara mereka, dan tidaklah pula Allah mengadzab mereka, sedang mereka beristighfrar.“ (QS. Al Anfal: 33) Sungguh Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Bukan itu saja, bahkan istighfar (tentunya dengan ikut menyertakan hatinya) akan mendatangkan rizqi dan kekuatan yang luar biasa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
    فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًايُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
    Maka aku (Nabi Nuh) katakan kepada mereka: “Beristighfar-lah (mohonlah ampun) kepada Rabb kalian, sesunguhnya Dia adalah Maha pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat (ketika musim paceklik) dan akan melimpahkan kepada kalian harta dan anak keturunan, serta menjadikan kebun-kebun dan sungai–sungai.“ (QS. Nuh: 10-12)
    Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
    وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ
    (Nabi Hud berkata): “Wahai kaumku beristighfar-lah kalian kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Allah akan menurunkan hujan yang lebat kepada kalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan atas kekuatan kalian.“ (QS. Hud: 52)
    Zodiac Jahiliyah
    Termasuk kebiasaan jahiliyah yang berkenaan dengan ilmu perbintangan adalah menebak dan menentukan nasib dan sifat seseorang dengan mengaitkan bintang-bintang yang ada di langit, seperti: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricon, Aquarius, Pisces.
    Sebagai contoh saja, orang yang lahir antara tanggal 22 Desember–19 Januari, maka dia mempunyai bintang CAPRICORN, yang mengatakan kepada anda bahwa keuangannya kurang stabil, tapi kesehatannya relatif baik. Hari Minggu adalah hari baiknya. Angka bahagianya adalah 2 – 7.
    Orang yang lahir antara 20 Januari-18 Februari, maka dia mempunyai bintang AQUARIUS, yang menyebutkan bahwa situasi minggu ini usahanya kurang menentu. Keuangannya bakal ada sedikit masalah. Hari baiknya adalah hari Sabtu. Angka bahagianya adalah 4 - 9.
    Orang yang lahir antara tanggal 19 Pebruari–20 Maret, dia mempunyai bintang PISCES, yang menyatakan bahwa keadaannya secara umum lumayan bagus dan usahanya akan tampak hasilnya secara nyata. Keuangannya cukup lancar. Kesehatannya tak ada masalah. Asmaranya, ada masalah namun kalau siap menghadapinya bisa diselesaikan dengan baik. Hari baiknya adalah Rabu. Angka bahagianya 1 – 4, dan seterusnya.
    Seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mempercayai ramalan bintang-bintang tersebut, apalagi menjadikannya sebagai bintang kebanggaan-nya yang kemudian di tempel di tembok-tembok, di buku-buku, di lemari bahkan di tempat tidur. Ramalan-ramalan tersebut sangat bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan akal sehat serta kenyataan di lapangan.
    Ayat Al Quran yang mengingkarinya yaitu Allah berfirman:
    وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
    "Dan tiada seorangpun dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok.“ (QS. Luqman: 34)
    Ini adalah salah satu ilmu ghaib yang hanya milik Allah saja. Dari mana mereka bisa mengetahuinya? Juga bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu larangan mempelajari dan menyakini ilmu perbintangan, karena ilmu tersebut termasuk bagian ilmu sihir, dan salah satu bentuknya adalah ramalan-ramalan ini. Juga bertentangan dengan akal sehat, karena orang yang berakal sehat tentunya tidak mau menunggu dan menerima nasibnya seperti itu, dia akan berusaha bagaimana mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Hanya orang-orang bodoh saja yang mempercayai ramalan bintang seperti itu. Ramalan Zodiak juga bertentangan dengan kejadian di lapangan, karena pada kenyataan, banyak orang yang lahir pada waktu tertentu dengan bintang yang ada, sifat dan keadaannya sangat berbeda dengan yang tertera di dalam ramalan-ramalan jahiliyah di atas.
    Penulis akan berikan satu kejadian yang menunjukkan kebohongan ilmu perbintangan (ilmu nujum) tersebut. Yaitu ketika khalifah Ali bin Abi Thalib radliyallah 'anhu beserta tentaranya ingin berangkat memerangi pasukan Khawarij, tiba- tiba datang seorang ahli nujum menemui Imam Ali, seraya berkata: “Wahai Amirul Mukminin jangan berangkat, karena bulan sekarang pada posisi sedang tenggelam (SCORPION), kalau engkau tetap berangkat sedang kedaan bulan seperti itu, maka tentaramu pasti akan kalah.
    Mendengar hal itu, Imam Ali bukannya mengkeret, gemetar dan mengurungkan niatnya untuk berperang, bahkan sebaliknya, justru semangat beliau bertambah, seraya berkata: “Saya tetap akan pergi dengan berbekal Iman kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya saja, segaligus untuk membongkar kebohongan-mu!!“.
    Maka beliau tetap berangkat, sehingga akhirnya bisa mengalahkan tentara Khawarij. Kemenangan tersebut membuat gembira khalifah Ali radliyallah 'anhu, karena beliau berhasil menyelesaikan dua perkara dalam satu waktu, yaitu; memerangi pasukan Khawarij atas perintah Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam, sekaligus bisa membuktikan kebohongan ahli nujum (ahli astrologi).
    Dalam hal ini Qatadah, salah seorang ulama pada zaman tabi’in pernah memberikan pernyataan yang sangat jelas dan tegas dengn menolak teori ilmu perbintangan (astrologi) yang telah menyebar pada waktu itu: “Sesungguhnya orang-orang yang bodoh akan ajaran Allah, telah menyelewengkan keberadaan bintang-bintang tersebut dari fungsi yang sebenarnya, mereka menjadikannya sebagai alat perdukunan, mereka mengatakan barang siapa yang mengadakan acara pernikahan pada waktu bintang si fulan (Gemini, umpamanya), maka akan terjadi peristiwa tertentu, dan barang siapa yang melakukan perjalanan pada waktu bintang si fulan (Leo, umpamanya), maka akan terjadi peristiwa tertentu, dan seterusnya. Sungguh tiada satu bintang pun yang muncul, kecuali pada waktu itu lahir anak berwarna merah dan hitam, pendek dan panjang, cantik dan jelek. Bintang- bintang tersebut, begitu juga binatang-binatang yang melata dan burung-burung yang ada, semua itu sekali-kali tidak mengetahui sesuatu yang ghaib. Kalau seandainya ada seseorang yang boleh mengetahui yang ghaib, maka Adam-lah yang paling berhak mengetahuinya, karena Allah menciptakannya langsung dengan tangan-Nya dan memerintahkan para Malaikat untuk sujud kepadanya serta mengajarkan kepadanya segala sesuatu.
    Ramalan Cuaca
    Di dalam kasus ramalan cuaca, penulis akan menukilkan perkataan Imam Al Khattabi, salah satu ulama (pensyarah hadits), beliau mengomentari hadits larangan mempelajari ilmu perbintangan yang tersebut di atas sebagai berikut: “Ilmu Perbintangan yang di larang di dalam Islam adalah ilmu perbintangan yang digunakan untuk mengetahui kedaan alam, peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang, seperti waktu datangnya angin dan turunnya hujan, perubahan cuaca dan sejenisnya. Semua itu, menurut pengakuan mereka, bisa diketahui dengan melihat bintang-bintang pada peredarannya atau ketika bintang-bintang tersebut berkumpul dan berpisah. Mereka mengganggap bahwa perjalan bintang-bintang tersebut mempunyai pengaruh dengan kejadian yang ada di bumi. Itu semua adalah kebohongan di dalam masalah-masalah ghaib dan sebuah bentuk campur tangan terhadap masalah-masalah yang hanya diketahui oleh Allah semata.“
    Secara sekilas pernyataan Imam Khattabi tersebut, terkesan aneh dan menentang arus. Karena isinya melarang orang Islam untuk mempelajari Ilmu Astrologi dan mempercayai ramalan cuaca, yang nota-benenya adalah hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang disarankan dalam Islam. Kesimpulan Imam Khatthabi tersebut didasarkan pada hadits Ibnu Abbas di atas. Namun, menurut hemat penulis, pernyataan Imam Khattabi tersebut, masih bersifat umum dan global, sehingga perlu di pertajam dan di perjelas lagi. Sebelum masuk pada inti masalah, penulis akan menukil dahulu firman Allah Ta'ala:
    وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ
    Dan Dialah ( Allah ) yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim.” (QS. Luqman: 34 )
    Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah-lah yang mengetahui apa yang ada di rahim. Dan pengetahuan tentang apa yang di dalam rahim, menurut tafsir (QS. Al-An’am: 59 dan QS. Luqman: 34) adalah termasuk salah satu kunci-kunci ghaib yang tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Allah. Namun dengan kemajuan teknologi zaman sekarang, hanya dengan menggunakan alat Ultrasonografi, seorang ibu hamil yang sudah berumur 7 bulan kehamilan atau bahkan sebelumnya, sudah mampu mengetahui keadaan janin yang ada di dalam rahimnya, apakah dia seorang laki-laki atau perempuan, dalam keadaan sehat atau kurang gizi, anggota tubuhnya normal atau cacat dan lain-lainnya. Lalau bagaimana dengan bunyi surat Luqman ayat 34 di atas? Sebuah pertanyaan yang sering mengganjal dalam diri seorang muslim.
    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tetap yakin bahwa Al-Quran adalah Al-Haq, yang mempunyai kebenaran mutlak dan tidak boleh diganggu gugat. Tetapi dalam sisi lain, kita harus yakin juga bahwa Al-Quran tidak menentang atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, para ulama telah menjelaskan tafsir surat Luqman ayat 34 di atas, bahwa manusia boleh saja mengetahui keadaan janin yang masih dalam kandungan dengan kecanggihan teknologi yang dimilikinya, namun pengetahuan tersebut walaupun bagaimanapun canggihnya tidak akan sempurna. Buktinya, banyak kejadian yang menyatakan bahwa perkiraan ultrasonografi sering salah dan tidak sesuai dengan kenyataan. Itu semua menunjukan bahwa hanya Allah-lah yang benar-benar mengetahui keadaan janin tersebut secara mendetail, tepat serta sempurna.
    Jawaban para ulama terhadap teori embriologi tersebut, bisa kita analogikan untuk menjawab teori astrologi dan ramalan cuaca. Pengetahuan seorang astrolog terhadap kemungkinan akan datangnya hujan, atau bertiupnya angin kencang, atau timbulnya petir yang menggelegar adalah pengetahuan yang sedikit dan bersifat parsial. Kemungkinan salah, sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, perkiraan seorang astrolog sekedar bahan agar kita mempersiapkan diri, namun hal itu tidak boleh kita jadikan standar pasti. Kita tetap menyandarkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Dia-lah pelaku yang sebenarnya. Dengan demikian, yang dilarang dalam Islam adalah menyakini bahwa ramalan tersebut benar adanya dan menyandarkan semuanya pada astrolog. Sebagaimana kita di larang untuk menyakini bahwa dokter-lah yang menyembuhkan penyakit, karena sebenarnya yang menyembuhkan penyakit adalah Allah, dokter sekedar perantara, itupun banyak yang gagal. Allah berfirman menceritakan keyakinannya Nabi Ibrahim 'alaihis salam:
    وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
    Dan apabila aku sakit, maka Allah-lah yang menyembuhkan aku.“ (QS. Al-Syu’ara': 80)
    Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam telah mampu menggabungkan antara aqidah dan ilmu pengetahuan. Aqidah adalah dasar kehidupan kita sehari-hari yang tidak boleh diganggu gugat, sedang ilmu pengetahuan adalah sekedar sarana, yang kebenarannya nisbi dan tidak mutlak. Maka hendaknya kita selalu menyandarkan kepada kebenaran yang mutlak (Allah Ta'ala), tanpa harus membuang kebenaran nisbi. (Ilmu pengetahuan). Wallahu a’lam.
    (PurWD/voa-islam.com)
    NB: Artikel diunduh dari situs pribadi penulis: www.ahmadzain.com